You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Diberdayakan oleh Blogger.
.. SUGENG RAWUH SELAMAT DATANG WELCOME AHLAN WA SAHLAN DI YOGYAKARTA...KELOMPOK KERJA PENYULUH AGAMA ISLAM KOTA YOGYAKARTA TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN DAN APRESIASINYA.. SEMOGA BERMANFAAT DAN KESUKSESAN SELALU MENYERTAI ANDA..

Jumat, 08 Oktober 2010

Profesionalisme dan Kinerja Penyuluh Agama Islam

Penyuluh Agama Islam (PAI) sebagai tenaga fungsional telah berjalan satu dasawarsa, sejak diterbitkannya Keputusan Bersama Meteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara no: 574 tahun 1999 dan no: 178 Tahun 1999 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya. Ini artinya bahwa sejak itu, PAI memiliki wajah baru, orientasi baru, pengembangan jenjang karir yang baru dan tugas pokok serta fungsi yang baru pula. Bersamaan dengan itu, maka proses penyuluhan yang dilakukan oleh PAI bukan lagi sekedar memenuhi “perintah” atau dhawuh dari atasan atau karena “diundang” oleh sekelompok masyarakat. Tetapi, pekerjaan penyuluhan itu, telah menjadi profesi yang tentunya menuntut konsekuensi atau tanggung jawab moral dan institusional, yaitu pelaksanaan penyuluhan secara professional sehingga dapat menghasilkan kinerja yang maksimal. Dalam konteks inilah barangkali salah satu sudut pandang yang bisa menjadi pijakan urgensinya kita menyoroti soal profesionalisme dan kinerja PAI.

Pengertian Profesionalisme dan Kinerja
Tuntutan atas profesionalisme, sebagai suatu faham dan konsep idealisme profesional, sering dijadikan tuntutan terhadap keberadaan pegawai di lingkungan pemerintahan, termasuk terhadap PAI. Hal ini wajar saja, apalagi seperti penyuluh yang memang telah menjadi profesi yang harus dilakukan secara professional.
Sebutan “profesionalisme” itu sendiri berasal dari kata “profesi”. Jadi, berbicara tentang profesionalisme tentu mengacu pada pengertian profesi, sebagai suatu bidang pekerjaan. Terdapat beberapa pengertian profesionalisme.
Pertama, Soedijarto (1990:57) mendefinisikan profesionalisme sebagai perangkat atribut-atribut yang diperlukan guna menunjang suatu tugas agar sesuai dengan standar kerja yang diinginkan. Dari pendapat ini, sebutan standar kerja merupakan faktor pengukuran atas bekerjanya seorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas.
Kedua, Philips (1991:43) memberikan definisi profesionalisme sebagai individu yang bekerja sesuai dengan standar moral dan etika yang ditentukan oleh pekerjaan tersebut.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, berrarti terdapat sejumlah faktor dominan dalam mempersoalkan profesionalisme dikalangan pegawai. Pertama, kapasitas intelektual pegawai yang relevan dengan jenis dan sifat pekerjaannya. Kapasitas intelektual ini berhubungan dengan jenis dan tingkat pendidikan yang menjadi karakteristik pengetahuan dan keahlian seseorang dalam bekerja. Kedua, standar kerja yang sekurang-kurangnya mencakup prosedur, tata cara dan hasil akhir pekerjaan. Ketiga, standar moral dan etika dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.
Aspek ketiga merupakan persoalan yang sulit dirumuskan dan dinyatakan secara utuh, karena proses aktualisasinya tidak hanya ditentukan oleh sifat dan watak seseorang, tetapi ditentukan juga oleh sistem nilai yang berlaku dalam suatu lingkungan kerja. Sebagai contoh, seseorang yang sebenarnya memiliki disiplin waktu yang tinggi, tetapi bisa saja berubah karena lingkungannya terbiasa tidak disiplin. Contoh lain, seseorang yang berwatak jujur dapat berubah menjadi pribadi yang korup, karena sistem nilai yang berlaku di lingkungan kerjanya memang sistem nilai yang korup.
Dengan demikian, profesionalisme adalah suatu paham tentang cara dan ciri bagi seseorang dalam melakukan kerja di masyarakat, sebagai berikut:
1.Merefleksikan adanya itikad untuk merefleksikan nilai kebijakan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, yang karena itu dalam melakukan pekerjaan tidak lagi mengharapkan upah (reward) materiil oleh pihak professional pelakunya, tetapi demi tegaknya kehormatan diri.
2.Dikerjakan berdasar kemahiran (keahlian/skill) teknis yang bermutu tinggi, karena itu mensyaratkan adanya pendidikan dan latihan tingkat tertentu yang memenuhi standar kualifikasi tertentu.
3.Dalam pelaksanaannya menundukkan diri pada kontrol sesame yang terorganisasi berdasarkan kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama di dalam organisasi.
Secara sistematis, indikator profesionalisme dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.Itikad kerja yang baik
a.Bekerja tidak semata mencari materi dalam memberikan layanan
b.Membangun harga diri dengan prestasi menjadi unggulan.
2.Kualifikasi formal dan teknis
a.Tingkat pendidikan yang sesuai dengan pekerjaanya.
b.Diklat, kursus, seminar, dan forum-forum ilmiah lain yang diikuti.
c.Tugas pelayanan dapat dilaksanakan sesuai target.
3.Ketaatan terhadap pengaturan bersama
a.Pemahaman terhadap tupoksi yang melekat pada jabatan.
b.Memanfaatkan waktu luas untuk terus memperkaya informasi yang mendukung pelaksanaan tupoksi
c.Tugas layanan sesuai dengan kode etik

Sementara itu, kinerja merupakan sebuah kata dalam bahasa Indonesia dari kata dasar "kerja", yaitu sebagai terjemahan dari kata asing, yaitu prestasi atau bisa pula berarti hasil kerja. Pengertian kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 67) “Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Sementara itu, menurut Ambar Teguh Sulistiyani (2003 : 223) “Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya”. Maluyu S.P. Hasibuan (2001:34) mengemukakan “kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”.
Mencermati beberapa pendapat di atas, jadi jelas bahwa dalam kinerja itu terdapat beberapa indicator, antara lain sebagai berikut:
1.Akuntabilitas atau pertanggungjawaban pekerjaan sesuai beban pekerjaan yang diembannya.
2.Penerapan juklak/juknis yang menjadi acuan atau pelaksanaan.
3.Responsivitas:
a.Menampung aspirasi masyarakat/jamaah.
b.Mengenali dan memahami kebutuhan masyarakat.
4.Orientasi pelayanan:
a.Jumlah sumber daya penyuluh yang dimiliki organisasi.
b.Penyediaan waktu kerja penyuluh dalam memberikan pelayanan.
5.Efisiensi pelayanan:
a.Adanya standar waktu pelayanan
b.Adanya standar materi pelayanan
c.Sikap yang telah memadai sesuai dengan tuntutan kebutuhan pelayanan.
6.Fasilitas pelayanan:
a.Ketersediaan fasilitas kerja sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan tugas pelayanan.
b.Ketersediaan fasilitas pelayanan masyarakat.
Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi kinerja, antara lain: 1) kapasitas pribadi, 2) motivasi, 3) dukungan yang diterima, 4) keberadaan pekerjaan yang dilakukan, dan 5) hubungan dengan organisasi.
Faktor kapasitas pribadi atau kemampuan (ability) bagi seseorang, secara psikologis terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seseorang dalam menghadapi situasi (situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri seseorang secara terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal. David C. Mc Cleland (1997) seperti dikutip Mangkunegara (2001 : 68), berpendapat bahwa “Ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja”.
Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan predikat terpuji. Selanjutnya Mc. Clelland, mengemukakan 6 karakteristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu : 1) Memiliki tanggung jawab yang tinggi 2) Berani mengambil risiko 3) Memiliki tujuan yang realistis 4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan. 5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan 6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogamkan.
Sementara itu, ada pendapat lain mengenai faktor yang berpengaruh terhadap kinerja, yaitu :
1.Faktor individu, meliputi: kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang.
2.Faktor psikologis, meliputi: persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja.
3.Faktor organisasi, meliputi: struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system).

Setelah kita mengetahui pengertian kinerja dan factor-faktor yang mempengaruhinya, maka persoalan berikutnya adalah penilaian kinerja (performance appraisal). Penilaian kinerja pada dasarnya merupakan faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan. Sebab melalui penilaian tersebut, maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja seseorang.
Tujuan penilaian kinerja dapat meliputi beberapa hal, antara lain: 1) hasil penilaian digunakan sebagai dasar pemberian kompensasi 2.Hasil penilaian digunakan sebagai staffing decision, dan 3) hasil penilaian digunakan sebagai dasar mengevaluasi sistem seleksi. Sedangkan yang bersifat development, penilai harus dapat menyelesaikan beberapa hal, antara lain: 1) Prestasi riil yang dicapai individu, 2) kelemahan-kelemahan individu yang menghambat kinerja, dan 3) prestasi-pestasi yang dikembangkan.
Sedangkan manfaat dati penilaian kinerja, khususnya bagi organisasi antara lain :
1.Penyesuaian-penyesuaian kompensasi
2.Perbaikan kinerja,
3.Kebutuhan latihan dan pengembangan
4.Pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan, pemberhentian dan perencanaan tenaga kerja
5.Untuk kepentingan penelitian pegawai
6.Membantu diagnosis terhadap kesalahan desain pegawai

Profesionalisme dan Kinerja PAI
Bagaimana dengan Penyuluh Agama Islam (PAI)? Profesionalisme bagi seorang PAI dapat dipahami bahwa dalam menjalankan penyuluhan telah memenuhi beberapa kriteria tertentu. Menurut pendapat Houle – yang dikutip oleh Prof. Dr. Suyanto (KOMPAS, 16/2/2001 hal. 9) – ciri-ciri pekerjaan yang profesional, meliputi: (1) memiliki landasan pengetahuan yang kuat; (2) berdasarkan atas kompetensi individual (bukan atas dasar KKN); (3) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi; (4) ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar sejawat; (5) adanya kesadaran profesional yang tinggi; (6) memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik); (7) memiliki sistem sanksi profesi; (8) adanya militansi individual; dan (9) memiliki organisasi profesi.
Secara simpel, beberapa kriteria profesionalisme di atas, juga bisa dirumuskan menjadi tiga kriteria utama bagi seorang PAI yaitu; sikap (attitude), pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill). Sikap adalah suatu disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seseorang untuk bereaksi (merespon) terhadap lingkungannya (baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, baik lingkungan alamiahnya, maupun lingkungan fisiknya). Dalam konteks ini, maka sikap bagi PAI adalah sesuatu yang mendasari penampilan diri, khususnya dalam berkomunikasi dengan stake holdernya, memfasilitasi proses bimbingan dan penyuluhan, memecahkan masalah jamaah dan sebagainya.
Sementara itu, pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill) adalah dua hal yang menjadi kekuatan penggerak bagi PAI dalam menjalankan pekerjaanya. Pekerjaan atau tugas yang dijalankan dengan pengetahuan yang cukup dan ketrampilan yang memadai, maka menjadi modal utama dalam mencapai hasil yang memuaskan (memenuhi standar kualitas/mutu). Bagi PAI, maka standar kualitas/mutu pekerjaanya, misalnya bisa dilihat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, capaian hasil yang bisa dinikmati/dirasakan oleh masyarakat (perubahan perilaku), tindak lanjutnya (follow up) dan sebagainya.
PAI yang profesional, di sisi yang lain juga perlu melakukan proses penyuluhan yang efektif. Dalam hal ini, paling tidak ada empat aspek ciri-ciri PAI yang efektif, sebagaimana secara tersirat ditegaskan oleh Gary A Davis dan Margaret Thomas (Suyanto, Ibid.)
Pertama, memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di jama’ah binaannya, yang dapat dirinci lagi menjadi: (1) memiliki keterampilan impersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada jama’ah dan keikhlasan; (2) memiliki hubungan baik dengan anggota jama’ah; (3) mampu menerima, mengakui dan memperhatikan jama’ah secara tulus; (4) menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam melakukan penyuluhan; (5) mampu menciptakan atmosfir/iklim untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam penyuluhan; (6) mampu melibatkan jama’ah dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan penyuluhan; (7) mampu mendengarkan dan menghargai hak jama’ah untuk berbicara dalam setiap proses penyuluhan; (8) bisa meminimalkan friksi-friksi di jama’ah.
Kedua, kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen penyuluhan, meliputi: (1) memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani jama’ah yang tidak punya perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan dan mampu berimprofisasi yang konstruktif; (2) mampu bertanya atau memberikan pancingan persoalan yang bisa diterima atau dipahami oleh jama’ah.
Ketiga, memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feed back) dan penguatan (reinforcement), yang meliputi: (1) mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon jama’ah; (2) mampu memberikan respons yang bersifat membantu terhadap jama’ah yang memang tingkat pengetahuan (daya pikirnya) masih terbatas; (3) mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban jama’ah yang kurang tepat; (4) mampu memberikan bantuan profesional kepada jama’ah jika diperlukan.
Keempat, memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan kualitas diri, meliputi: (1) mampu menerapkan materi dan metode penyuluhan yang kreatif-inovatif; (2) mampu memperluas dan manambah pengetahuan pengetahuan mengenai metode-metode penyuluhan; (3) mampu memanfaatkan perencanaan PAI secara kelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode penyuluhan yang relevan.

Kompetensi Penyuluh
Memperhatikan kriteria atau kualifikasi profesionalisme dan kinerja seperti di atas, maka menuntut adanya penyuluh yang memiliki kompetensi tertentu sehingga dapat mengampu muatan tugas-tugas pokoknya, termasuk dalam mengimplementasikan trilogy fungsinya, yaitu fungsi informative-edukatif, fungsi konsultatif dan fungsi advokatif. Secara umum, minimal ada empat kompetensi yang perlu dimiliki PAI agar dapat berproses menjadi sebuah profesi yang profesional. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik, profesional, kompetensi personal, dan kompetensi sosial. Secara detail masing-masing kompetensi tersebut dikembangkan sebagai berikut :
1.Kompetensi Pedagogik
a.Melaksanakan bimbintgan dan penyuluhan yang mendidik
b.Menguasai karakteristik jamaah dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, intelektual dan emosional.
c.Menguasai teori penyuluhan dan prinsip-prinsip bimbingan dan penyuluhan
d.Mengembangkan kurikulum terkait dengan kegiatan penyuluhan melalui tatap muka
e.Dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran dalam penyuluhan.
f.Memfasilitasi pengembangan potensi jamaah untuk dapat mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki
g.Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan jamaah.
h.Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil penyuluhan
i.Memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran dan evaluasi dalam penyuluhan untuk kepentingan pengembangan penyuluhan

2.Kompetensi Profesional
a.Menguasai tujuan dan target setiap bimbingan dan penyuluhan.
b.Mengembangkan materi pembelajaran penyuluhan yang diampu secara kreatif.
c.Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan kreatif.
d.Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri.
e.Menguasai pembuatan tata administrasi kepenyuluhan yang mendukung pengembangan profesi.

3.Kompetensi Personal
a.Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi jamaah
b.Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa dan rasional
c.Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi penyuluh dan percaya diri yang tinggi.
d.Menjunjung tinggi kode etik profesi penyuluh

4.Kompetensi Sosial
a.Bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif atau bersikap primordial.
b.Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama penyuluh dan masyarakat.
c.Beradaptasi di tempat tugas.
d.Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain baik secara lisan, tulisan maupun dengan teknologi informasi.


Staregi Peningkatan Profesionalisme dan Kinerja
Pekerjaan utama ke depan, adalah bagaimana merumuskan strategi peningkatan profesionalisme dan kinerja penyuluh. Dalam merumuskan persoalan ini, kita dapat menggunakan analisis SWOT (Strengt, Weakness, Opportunity, dan Threat).
Secara sederhana, analisis SWOT bagi peningkatan profesionalisme dan kinerja penyuluh dapat digambarkan sebagai berikut:

KEKUATAN (Strengt)
1.Memiliki legalitas kerja yang dilindungi Undang-Undang
2.Jumlah penyuluh yang menyebar di tiap wilayah
3.Memiliki organisasi profesi KELEMAHAN (Weakness)
1.Pemahaman terhadap berbagai peraturan/pedoman lemah
2.Tunjangan fungsional sangat rendah
3.Usia pensiun belum sama seperti tenaga fungsional lain tahun
4.Profesionalisme kurang
5.Penguasaan teknologi informasi lemah
6.Fasilitas pembelajaran penyuluhan belum ada

PELUANG
(Opportunity)
1.Jabatan mandiri
2.Penghasilan tetap setiap bulan dan meningkat secara berkala
3.Kenaikan pangkat/karir berdasar kinerja
4.Status sosial STRATEGI – SO
1.Memberikan kesempatan kepada semua penyuluh untuk mengembangkan profesionalismenya setinggi mungkin untuk mengembangkan karir dengan pola reward dan punishment
2.Mengefektifkan organisasi profesi

STRATEGI – WO
1.Memberikan pembinaan secara regular kepada penyuluh untuk mengembangkan profesionalismenya
2.Pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang kebutuhannya

ANCAMAN
(Threath)
1.Perilaku KKN
2.Apatisme dan ketidakpercayaan masyarakat

STRATEGI – ST
1.Pelaksanaan peraturan berdasar kesadaran
2.Penempatan personal sesuai dengan kebutuhan dan kapasitasnya

STRATEGI - WT
1.Meningkatkan kompetensi penyuluh
2.Membangun networking dengan lembaga-lambaga yang berkompeten
3.Berkomunikasi kepada masyarakat melalui lembaga-lembaga pemerintahan maupun sosial-keagamaan
4.Mengefektifkan penggunaan TI (internet)

Penutup
Mencermati perkembangan masyarakat yang semakin progresif dan kompetitif, maka profesionalisme dan kinerja bagi PAI merupakan tuntutan riil yang mendesak dan perlu untuk segara dilakukan langkah-langkah realisasinya. Namun demikian, kita perlu menyadari bahwa PAI adalah bukan organisasi yang berdiri sendiri, tetapi sebaai bagian dari salah satu rangkaian kereta besar intitusi Kementerian Agama. Secara formal, semestinya pengembangan profesionalisme dan kinerja penyuluh dapat difasilitasi secara maksimal oleh Negara. Tetapi, tanpa menafikan berbagai kesempatan dan fasilitas untuk pengembangan masalah tersebut, tetapi terlalu lamban perkembangannya jika penyuluh sendiri tidak berani melakukan terobosan-terobosan kreatif dan inovatif yang dapat menjadi katalisator dalam mengangkat profesionalisme dan kinerjanya.
Karena itu, organisasi profesi merupakan salah satu kekuatan yang efektif untuk mengangkat profesionalisme dan kinerja penyuluh. Termasuk, saling kerja sama antar Kelompok Kerja lintas kabupaten atau bahkan provinsi tentu menjadi terobosan yang sangat baik agar sesama penyuluh dapat melakukan sharing, tukar gagasan, pengalalaman dan sebagai yang relevan dengan upaya ini. Dalam hal ini, pemanfaatan internet mestinya dapat menjadi media yang cukup efektif untuk melakukan terobosan itu. Tetapi, berapa persen tenaga fungsional penyuluh kita yang sudah akrab dengan dunia internet itu? Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 9 Oktober 2010
M. Mahlani
Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta Wilayah kerja Kecamatan Jetis
Ketua Umum Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Yoyakarta
Pemimpin Umum/Redaksi Majalah WARTA PENYULUH Jogja.


REFERENSI

Qodri A. Azizy, Change management dalam reformasi birokrasi, Jakarta: Gramedia
Mahlani, “Menjadikan Penyuluh Agama Islam Sebagai Profesi Berdaya Saing Tinggi”, WARTA PENYULUH Jogja No. 1/TH I/Agustus 2008
Mahlani, “Keseimbangan Trilogi Fungsi Penyuluh Agama Islam”, WARTA PENYULUH Jogja No. 6/TH II/September 2010
http://criz-scania.blogspot.com
http://jurnal-sdm.blogspot.com
http://www.scribd.com
http://pustaka.ut.ac.id
http://tesisdisertasi.blogspot.com
Selengkapnya...

Read more...

Senin, 04 Oktober 2010

Terima Studi Banding Kelompok Kerja Penyuluh Kabupaten Sidoarjo

Kelompok Kerja (Pokja) Kota Yogyakarta untuk kedua kalinya akan menerima Studi Banding Kelompok Kerja Penyuluh Agama Islam Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur setelah pada tahun 2009 menerima studi banding Penyuluh Agama Islam Kabupaten Klaten. Studi Banding teman-teman penyulh dari daerah yang sedang mengalami musibah kebanjiran lumpur sejak tahun 2006 ini akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 10 Oktober 2010 bertempat di aula Kementerian Agama Kota Yogyakarta.

Maksud dan tujuan studi banding ini adalah untuk melakukan sharing seputar manajemen sumber daya penyuluh, analisa pekerjaan dan kemampuan atau kapasitas sumber daya penyuluh serta berbagai hal yang menyangkut dengan tugas pokok dan fungsi penyuluh agama Islam. Diharapkan dengan sharing beberapa persoalan di atas, ke depan dapan saling memperkaya informasi dan mempertajam skills kepenyuluhan. Semuanya itu, ultimate goalnya adalah bahwa penyuluh agama benar-benar dapat menjadi profesi yang dapat menunjukkan keunggulan kompetitif dan komparatif.
Teman-teman penyuluh dari Kabupaten Sidoarjo informasinya sebanyak 55 orang yang terdiri dari para penyuluh fungsional, Kasi Penamas dan staf Penamas. Selamat datang di Jogja, teman-teman seperjuangan, kita sambung kebersamaan dan persaudaraan dalam rangka pencerahan profesi kepenyuluhan di masa depan.

Selengkapnya...

Read more...

Jumat, 01 Oktober 2010

Sikap Positif Menghadapi Kegagalan

Anda pernah mendengar seorang Penyuluh Agama Islam (PAI) mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas kepenyuluhannya? Penyuluh Agama Honorer (PAH) gagal menjalankan kewajiban selama satu tahun masa tugasnya? Seorang Penyuluh Agama Fungsional gagal menjalankan tugas-tugas kedinasannya? Sejauh ini kelihatannya belum pernah ada temuan yang secara pasti menyatakan bahwa penyuluh ’A’ gagal menjalankan misinya sebagai pencerah umat. Hal ini barangkali terkait dengan indikator yang menjadi patokan keberhasilan atau kegagalan profesi penyuluh belum ada, atau kalaupun sudah ada, tetapi belum dijalankan secara efektif.
Pastinya bahwa pekerjaan atau profesi apapun dapat mengalami kegagalan. Ini artinya bahwa profesi penyuluh sama dengan profesi lain, seperti pendidik, wirausahawan, politisi, peneliti, relawan sosial, dan sebagainya sama-sama bisa mengalami kegagalan. Seorang penyuluh gagal mengelola pribadi, gagal membangun rumah tangga, gagal mengelola kelompok binaan, gagal merumuskan program kerja, gagal menjalin hubungan yang baik dengan kelompok binaan atau mitra kerjanya, gagal menyelesaikan tugas dari atasan, gagal membuat berkas-berkas sebagai syarat formal naik pangkat/golongan dan sebagainya adalah bagian dari resiko pekerjaan.
Karena itu, kita perlu memahami makna kegagalan yang sebenarnya. Tanpa faham filosofi itu, jangan berpikir kita dapat mengambil jalan menjadi profesi yang penuh resiko seperti menjadi penyuluh yang profesional. Jelas bahwa menjadi penyuluh adalah profesi yang beresiko tinggi; resiko kesehatan dan keselamatan fisiknya, resiko karirnya, resiko penghasilannya dan bahkan resiko masa depannya. Mengapa demikian? Ambil saja salah satu resiko yang paling tinggi yaitu keselamatan dan kesehatan fisiknya.

Tugas pokok penyuluh adalah melakukan pembelajaran kepada masyarakat yang tersebar di seantero wilayah kerjanya. Ini artinya, seorang penyuluh dituntut melakukan mobilitas yang tinggi dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Apalagi jika kelompok binaannya semakin banyak, maka frekuensi perpindahan tempat akan semakin banyak pula. Ini berarti juga bahwa seorang penyuluh akan menghadapi resiko yang semakin besar akan keselamatan dirinya dalam perjalanannya – khususnya resiko kecelakaan. Belum lagi jika kegiatannya dilakukan malam hari atau bahkan menjelang subuh seperti setiap bulan Ramadhan. Jelas bahwa udara malam, apalagi larut malam sampai menjelang subuh adalah waktu yang sangat beresiko terhadap kesehatan fisik – khususnya terhadap berbagai penyakit dalam. Ini hanya sekelumit gambaran, betapa pilihan menjadi penyuluh benar-benar profesi yang sarat resiko, termasuk tentunya resiko kegagalan melakukan pemberdayaan dan pencerahan terhadap masyarakat warga binaannya – alias gagal melakukan penyuluhan.

Untuk itu, penting bagi setiap PAI agar dapat memahami benar resiko yang akan dihadapinya.
Menghadapi resiko adalah gabungan kerja keras, kecerdikan, kehati-hatian, kecermatan membaca peluang dan kesiapan menghadapi kegagalan maupun keberhasilan. Akhir yang menyenangkan (happy ending) atau dalam bahasa agamanya husnul khatimah, tentu menjadi harapan setiap penyuluh. Hanya saja, ini bisa dicapai, tentu setelah melewati keberhasilan demi keberhasilan kecil, tahap demi tahap, seperti keberhasilan menyingkirkan berbagai kesulitan dan bahaya. Proses ini dibangun dari kesungguhan melahirkan segenap potensi diri seorang relawan seperti PAI. Dengan begitu, ia akan dapat mengubah “kekalahan menjadi kemenangan”, sebuah proses yang kecil peluang pencapaiannya tanpa kesiapan mental menghadapi kegagalan. Karena itu, sekiranya Anda termasuk orang yang tidak siap gagal, lebih baik jangan meniti jalan menjadi Penyuluh Agama Islam. Bahkan, mengimpikannya saja, jangan!

Setiap kegagalan adalah pelajaran yang mendorong seorang penyuluh untuk mencoba pendekatan baru yang belum pernah dicoba sebelumnya. Bagi penyuluh sejati, “berani gagal” berarti “berani belajar”. Dengan gagal dan dengan belajar, maka penyuluh akan dapat tumbuh menjadi orang yang lebih baik dan belajar bagaimana menciptakan kekayaan pengalaman sejati – dimana pengalaman sejati itu akan menjadi modal utama dalam melakukan penyuluhan. Bukankah ada orang bijak menyatakan: ”Jangan harap Anda bisa merubah orang lain, sekiranya merubah dirinya sendiri atau keluarganya sendiri saja belum mampu”, ”Jangan berharap warga binaan kita akan dengan tulus menerima pesan yang kita sampaikan, jika kita sendiri belum dapat menyampaikannya dengan ketulusan sejati”. Walaupun seorang penyuluh kehilangan kesempatan yang telah mereka peroleh, mereka tahu bagaimana menciptakannya kembali – tanpa harus menunggu. Pelajarannya tidak pernah hilang.
Sebaliknya, mereka yang tidak pernah mengalami perjalanan yang sulit dan mendapatkan ”kekayaan hati” dengan mudah, maka ia tidak akan tahu bagaimana menciptakan kekayaan itu ketika mereka kehilangan. Dengan kata lain, mereka yang tidak pernah gagal tidak akan tahu kekayaan sejati. Ini artinya bahwa bahwa setiap kegagalan dibaliknya tersembunyi pelajaran. Seorang bijak berkata,”sukses hanyalah pijakan terakhir dari tangga kegagalan.”

Menghadapi Kegagalan

Ada banyak pembahasan tentang tips menghadapi kesuksesan. Tetapi bagi kita, sama pentingnya, menyiapkan sejumlah hal ketika menghadapi kegagalan! Billy P.S. Lim, motivator kelas dunia yang berbasis di Malaysia, pernah menanyakan kepada peserta trainingnya tentang satu masalah menarik. ”Mengapa orang akan tenggelam apabila jatuh ke dalam air?”
Berbagai jawaban diberikan tetapi yang paling sering ialah ”Dia tidak dapat berenang.” Peserta traning heran, penasaran dan terbengong karena Lim menyalahkan jawaban itu. Yang hadir mengira, Lim bercanda. Untuk menyakinkan mereka, Lim memberi contoh kejadian orang tenggelam di air sedalam tiga inci. Akhirnya, ia memberitahu jawabannya, yang akan ia berikan kepada Anda sekarang. Kami kutip pendapat Lim: ”Orang tenggelam karena dia menetap disitu dan tidak menggerakkan dirinya ke tempat lain.” Ini artinya bahwa berapa kali orang jatuh tidak jadi soal. Yang penting kemampuannya untuk bangkit kembali setiap kali jatuh.

Jangan ukur seseorang dengan menghitung berapa kali dia jatuh atau gagal. Tetapi, ukurlah ia dengan beberapa kali dia berani dan sanggup bangkit kembali. Seseorang yang mampu bangkit kembali setelah gagal, maka ia tidak akan putus asa. Sungguh menyedihkan ketika kita mendengar bahwa banyak orang yang mengalami gagal sekali, dua kali, atau berkali-kali, kemudian ia memilih tetap diam dan menetap di situ, akhirnya ia mati sebagai orang yang sebenar-benarnya gagal, tersungkur, dan tidak bangkit lagi.
Persoalannya adalah apakah kapasitas dan kualitas diri kita dapat membantu bangkit kembali setelah terjatuh? Kapasitas dan kualitas diri adalah modal utama bagi seseorang untuk dapat bangkit lagi setelah mengalami kegagalan.
”Tidak ada apapun di dunia ini yang bisa menggantikannya. Bakatpun tidak; Banyak sekali orang berbakat yang tidak sukses. Kejeniusanpun tidak; Jenius yang tidak sukses sudah hampir menjadi olok-olokan. Pendidikanpun tidak; dunia ini penuh dengan orang terpelajar. Hanya kemauan dan ketabahan saja yang paling ampuh.”

Ya, ketabahan, yaitu kemampuan bangkit kembali untuk kesekian kalinya setelah terjatuh. Dalam benturan antara sungai dan batu, air sungai senantiasa menang bukan dengan kekuatan tapi dengan ketabahan. Seberapa jauh kita jatuh tidak menjadi masalah, tetapi yang penting seberapa sering kita bangkit kembali.
Apabila kita dapat terus mencoba setelah tiga kegagalan, kita dapat mempertimbangkan diri untuk menjadi pemimpin dalam pekerjaan sekarang. Jika kita terus mencoba setelah mengalami belasan kegagalan, ini berarti benih kejeniusan sedang tumbuh dalam diri kita. Seperti Thomas Alfa Edison, saat ditanya, bagaimana ia bisa bertahan setelah ribuan kali gagal? Penemu bola lampu dan pendiri perusahaan kelas dunia, General Electric ini menjawab,
”Saya tidak gagal, tetapi menemukan 9994 cara yang salah dan hanya satu cara yang berhasil. Saya pasti akan sukses karena telah kehabisan percobaan yang gagal.”

Menarik Hikmah - Jangan Menyerah

Mengantisipasi bencana sejak dini adalah karakteristik seorang relawan seperti Penyuluh Agama Islam. Jangan biarkan kebanggaan dan sentimen mempengaruhi keputusan-keputusan kita. Ini artinya bahwa jangan biarkan kegagalan sebagai sesuatu yang final. Profesi penyuluh sejati, memandang kegagalan sebagai awal, batu loncatan untuk memperbaharui kinerja perjuangan dan pengabdian suci di masa mendatang. ”Pencerah umat” tidak menghabiskan waktunya hanya untuk memikirkan kegagalan.

Untuk memicu kesiapan mental kita menghadapi kegagalan, maka kerjakan apapun yang dapat dilakukan. Semakin terbatas sumber dana atau fasilitas, kita patut semakin bijaksana. Fahami, kapan harus meminimalisasi pemborosan. Semakin terbatas sumber pengetahuan dan pengalaman, semakin tertantang untuk terus belajar-berlatih, belajar-berlatih dan terus belajar-berlatih. Sembari demikian, maka ketika kita terjatuh, maka cepat bangkit, jangan menunggu orang datang memberi pertolongan.

Jadi, kegagalan hanyalah sebuah tikungan tajam yang menuntut ”kendaraan” usaha, sedikit mengurangi kecepatan, lalu di depan, begitu melihat ”jalan mulus peluang”, kita bisa menebusnya dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Lantas, bagaimana jika semuanya gagal? Saat gagal menimpa, kendati lelah, kecewa berat, pahit-getir, tetapi jangan matikan energi kreatif yang tersimpan di dalam diri kita. Tetaplah berpikir kreatif. Sempurnakan produk pikiran yang ada, atau hasilkan produk pikiran baru atau usaha baru yang mungkin belum terpikirkan.

Jangan terpaku pada karier dan keterampilan yang dimiliki, yang terlalu lama bersandar pada lingkungan di mana kita dibesarkan atau selama ini bergulat. Kadang kala apabila seseorang gagal setelah berusaha dengan tabah dan mengerahkan sepenuh tenaga untuk sekian lama, mungkin tiba saatnya ia mengkaji kembali bidang yang digeluti dan menilai apakah ia mampu untuk mendapatkan apa yang dinginkannya di bidang tersebut. Banyak cara untuk mencapai tujuan hidup. Sebagian lebih cepat atau lebih lambat daripada yang lain.

Kadang kala dalam kehidupan kita terpaksa menekuni bidang usaha yang berlainan dengan disiplin ilmu yang kita pelajari dan kita mesti menyesuaikan segala keterampilan dan bakat yang tidak kita peroleh dari bidang-bidang usaha di masa lalu. Lalu? Salurkan kekuatan itu di bidang usaha yang baru. Mungkin, kita dipaksa mempelajari keterampilan baru, sebagai konsekuensi menghadapi tantangan serba-baru itu.
Jika kita menyadari bahwa kita tidak berhasil mencapai tujuan pada suatu pekerjaan di mana kita telah dilatih untuk melakukannya, latihlah atau lengkapi diri kita dengan pekerjaan yang memberi peluang meraih yang lebih baik di masa depan. Jangan gantungkan diri kita pada satu keterampilan saja. Sebagai manusia, bukankah Allah SWT telah memberi kita kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru? Jangan ”hidup-mati” kita digantungkan pada satu bidang saja.
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan" (QS. Al Israa': 70)

Orang lain bisa sukses. Kita tentu juga bisa, hanya saja, ada yang lekas tercapai, ada yang masih berliku. Semoga profesi kita termasuk profesi yang tidak harus mengalami jalan berliku untuk mengantarkan diri kita dan masyarakat kita menikmati kehidupan yang tercerahkan. Bukanlah perkerjaan yang paling mulia dari seorang penyuluh bukan pada tunjangan fungsionalnya yang memang belum seberapa dibandingkan tunjangan profesi lain, tetapi pada misinya menjadikan orang lain dapat hidup tercerahkan? Wallahu a’lam.
Selengkapnya...

Read more...

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP