Profesionalisme dan Kinerja Penyuluh Agama Islam
Penyuluh Agama Islam (PAI) sebagai tenaga fungsional telah berjalan satu dasawarsa, sejak diterbitkannya Keputusan Bersama Meteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara no: 574 tahun 1999 dan no: 178 Tahun 1999 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya. Ini artinya bahwa sejak itu, PAI memiliki wajah baru, orientasi baru, pengembangan jenjang karir yang baru dan tugas pokok serta fungsi yang baru pula. Bersamaan dengan itu, maka proses penyuluhan yang dilakukan oleh PAI bukan lagi sekedar memenuhi “perintah” atau dhawuh dari atasan atau karena “diundang” oleh sekelompok masyarakat. Tetapi, pekerjaan penyuluhan itu, telah menjadi profesi yang tentunya menuntut konsekuensi atau tanggung jawab moral dan institusional, yaitu pelaksanaan penyuluhan secara professional sehingga dapat menghasilkan kinerja yang maksimal. Dalam konteks inilah barangkali salah satu sudut pandang yang bisa menjadi pijakan urgensinya kita menyoroti soal profesionalisme dan kinerja PAI.
Pengertian Profesionalisme dan Kinerja
Tuntutan atas profesionalisme, sebagai suatu faham dan konsep idealisme profesional, sering dijadikan tuntutan terhadap keberadaan pegawai di lingkungan pemerintahan, termasuk terhadap PAI. Hal ini wajar saja, apalagi seperti penyuluh yang memang telah menjadi profesi yang harus dilakukan secara professional.
Sebutan “profesionalisme” itu sendiri berasal dari kata “profesi”. Jadi, berbicara tentang profesionalisme tentu mengacu pada pengertian profesi, sebagai suatu bidang pekerjaan. Terdapat beberapa pengertian profesionalisme.
Pertama, Soedijarto (1990:57) mendefinisikan profesionalisme sebagai perangkat atribut-atribut yang diperlukan guna menunjang suatu tugas agar sesuai dengan standar kerja yang diinginkan. Dari pendapat ini, sebutan standar kerja merupakan faktor pengukuran atas bekerjanya seorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas.
Kedua, Philips (1991:43) memberikan definisi profesionalisme sebagai individu yang bekerja sesuai dengan standar moral dan etika yang ditentukan oleh pekerjaan tersebut.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, berrarti terdapat sejumlah faktor dominan dalam mempersoalkan profesionalisme dikalangan pegawai. Pertama, kapasitas intelektual pegawai yang relevan dengan jenis dan sifat pekerjaannya. Kapasitas intelektual ini berhubungan dengan jenis dan tingkat pendidikan yang menjadi karakteristik pengetahuan dan keahlian seseorang dalam bekerja. Kedua, standar kerja yang sekurang-kurangnya mencakup prosedur, tata cara dan hasil akhir pekerjaan. Ketiga, standar moral dan etika dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.
Aspek ketiga merupakan persoalan yang sulit dirumuskan dan dinyatakan secara utuh, karena proses aktualisasinya tidak hanya ditentukan oleh sifat dan watak seseorang, tetapi ditentukan juga oleh sistem nilai yang berlaku dalam suatu lingkungan kerja. Sebagai contoh, seseorang yang sebenarnya memiliki disiplin waktu yang tinggi, tetapi bisa saja berubah karena lingkungannya terbiasa tidak disiplin. Contoh lain, seseorang yang berwatak jujur dapat berubah menjadi pribadi yang korup, karena sistem nilai yang berlaku di lingkungan kerjanya memang sistem nilai yang korup.
Dengan demikian, profesionalisme adalah suatu paham tentang cara dan ciri bagi seseorang dalam melakukan kerja di masyarakat, sebagai berikut:
1.Merefleksikan adanya itikad untuk merefleksikan nilai kebijakan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, yang karena itu dalam melakukan pekerjaan tidak lagi mengharapkan upah (reward) materiil oleh pihak professional pelakunya, tetapi demi tegaknya kehormatan diri.
2.Dikerjakan berdasar kemahiran (keahlian/skill) teknis yang bermutu tinggi, karena itu mensyaratkan adanya pendidikan dan latihan tingkat tertentu yang memenuhi standar kualifikasi tertentu.
3.Dalam pelaksanaannya menundukkan diri pada kontrol sesame yang terorganisasi berdasarkan kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama di dalam organisasi.
Secara sistematis, indikator profesionalisme dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.Itikad kerja yang baik
a.Bekerja tidak semata mencari materi dalam memberikan layanan
b.Membangun harga diri dengan prestasi menjadi unggulan.
2.Kualifikasi formal dan teknis
a.Tingkat pendidikan yang sesuai dengan pekerjaanya.
b.Diklat, kursus, seminar, dan forum-forum ilmiah lain yang diikuti.
c.Tugas pelayanan dapat dilaksanakan sesuai target.
3.Ketaatan terhadap pengaturan bersama
a.Pemahaman terhadap tupoksi yang melekat pada jabatan.
b.Memanfaatkan waktu luas untuk terus memperkaya informasi yang mendukung pelaksanaan tupoksi
c.Tugas layanan sesuai dengan kode etik
Sementara itu, kinerja merupakan sebuah kata dalam bahasa Indonesia dari kata dasar "kerja", yaitu sebagai terjemahan dari kata asing, yaitu prestasi atau bisa pula berarti hasil kerja. Pengertian kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 67) “Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Sementara itu, menurut Ambar Teguh Sulistiyani (2003 : 223) “Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya”. Maluyu S.P. Hasibuan (2001:34) mengemukakan “kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”.
Mencermati beberapa pendapat di atas, jadi jelas bahwa dalam kinerja itu terdapat beberapa indicator, antara lain sebagai berikut:
1.Akuntabilitas atau pertanggungjawaban pekerjaan sesuai beban pekerjaan yang diembannya.
2.Penerapan juklak/juknis yang menjadi acuan atau pelaksanaan.
3.Responsivitas:
a.Menampung aspirasi masyarakat/jamaah.
b.Mengenali dan memahami kebutuhan masyarakat.
4.Orientasi pelayanan:
a.Jumlah sumber daya penyuluh yang dimiliki organisasi.
b.Penyediaan waktu kerja penyuluh dalam memberikan pelayanan.
5.Efisiensi pelayanan:
a.Adanya standar waktu pelayanan
b.Adanya standar materi pelayanan
c.Sikap yang telah memadai sesuai dengan tuntutan kebutuhan pelayanan.
6.Fasilitas pelayanan:
a.Ketersediaan fasilitas kerja sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan tugas pelayanan.
b.Ketersediaan fasilitas pelayanan masyarakat.
Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi kinerja, antara lain: 1) kapasitas pribadi, 2) motivasi, 3) dukungan yang diterima, 4) keberadaan pekerjaan yang dilakukan, dan 5) hubungan dengan organisasi.
Faktor kapasitas pribadi atau kemampuan (ability) bagi seseorang, secara psikologis terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seseorang dalam menghadapi situasi (situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri seseorang secara terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal. David C. Mc Cleland (1997) seperti dikutip Mangkunegara (2001 : 68), berpendapat bahwa “Ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja”.
Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan predikat terpuji. Selanjutnya Mc. Clelland, mengemukakan 6 karakteristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu : 1) Memiliki tanggung jawab yang tinggi 2) Berani mengambil risiko 3) Memiliki tujuan yang realistis 4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan. 5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan 6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogamkan.
Sementara itu, ada pendapat lain mengenai faktor yang berpengaruh terhadap kinerja, yaitu :
1.Faktor individu, meliputi: kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang.
2.Faktor psikologis, meliputi: persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja.
3.Faktor organisasi, meliputi: struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system).
Setelah kita mengetahui pengertian kinerja dan factor-faktor yang mempengaruhinya, maka persoalan berikutnya adalah penilaian kinerja (performance appraisal). Penilaian kinerja pada dasarnya merupakan faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan. Sebab melalui penilaian tersebut, maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja seseorang.
Tujuan penilaian kinerja dapat meliputi beberapa hal, antara lain: 1) hasil penilaian digunakan sebagai dasar pemberian kompensasi 2.Hasil penilaian digunakan sebagai staffing decision, dan 3) hasil penilaian digunakan sebagai dasar mengevaluasi sistem seleksi. Sedangkan yang bersifat development, penilai harus dapat menyelesaikan beberapa hal, antara lain: 1) Prestasi riil yang dicapai individu, 2) kelemahan-kelemahan individu yang menghambat kinerja, dan 3) prestasi-pestasi yang dikembangkan.
Sedangkan manfaat dati penilaian kinerja, khususnya bagi organisasi antara lain :
1.Penyesuaian-penyesuaian kompensasi
2.Perbaikan kinerja,
3.Kebutuhan latihan dan pengembangan
4.Pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan, pemberhentian dan perencanaan tenaga kerja
5.Untuk kepentingan penelitian pegawai
6.Membantu diagnosis terhadap kesalahan desain pegawai
Profesionalisme dan Kinerja PAI
Bagaimana dengan Penyuluh Agama Islam (PAI)? Profesionalisme bagi seorang PAI dapat dipahami bahwa dalam menjalankan penyuluhan telah memenuhi beberapa kriteria tertentu. Menurut pendapat Houle – yang dikutip oleh Prof. Dr. Suyanto (KOMPAS, 16/2/2001 hal. 9) – ciri-ciri pekerjaan yang profesional, meliputi: (1) memiliki landasan pengetahuan yang kuat; (2) berdasarkan atas kompetensi individual (bukan atas dasar KKN); (3) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi; (4) ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar sejawat; (5) adanya kesadaran profesional yang tinggi; (6) memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik); (7) memiliki sistem sanksi profesi; (8) adanya militansi individual; dan (9) memiliki organisasi profesi.
Secara simpel, beberapa kriteria profesionalisme di atas, juga bisa dirumuskan menjadi tiga kriteria utama bagi seorang PAI yaitu; sikap (attitude), pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill). Sikap adalah suatu disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seseorang untuk bereaksi (merespon) terhadap lingkungannya (baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, baik lingkungan alamiahnya, maupun lingkungan fisiknya). Dalam konteks ini, maka sikap bagi PAI adalah sesuatu yang mendasari penampilan diri, khususnya dalam berkomunikasi dengan stake holdernya, memfasilitasi proses bimbingan dan penyuluhan, memecahkan masalah jamaah dan sebagainya.
Sementara itu, pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill) adalah dua hal yang menjadi kekuatan penggerak bagi PAI dalam menjalankan pekerjaanya. Pekerjaan atau tugas yang dijalankan dengan pengetahuan yang cukup dan ketrampilan yang memadai, maka menjadi modal utama dalam mencapai hasil yang memuaskan (memenuhi standar kualitas/mutu). Bagi PAI, maka standar kualitas/mutu pekerjaanya, misalnya bisa dilihat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, capaian hasil yang bisa dinikmati/dirasakan oleh masyarakat (perubahan perilaku), tindak lanjutnya (follow up) dan sebagainya.
PAI yang profesional, di sisi yang lain juga perlu melakukan proses penyuluhan yang efektif. Dalam hal ini, paling tidak ada empat aspek ciri-ciri PAI yang efektif, sebagaimana secara tersirat ditegaskan oleh Gary A Davis dan Margaret Thomas (Suyanto, Ibid.)
Pertama, memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di jama’ah binaannya, yang dapat dirinci lagi menjadi: (1) memiliki keterampilan impersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada jama’ah dan keikhlasan; (2) memiliki hubungan baik dengan anggota jama’ah; (3) mampu menerima, mengakui dan memperhatikan jama’ah secara tulus; (4) menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam melakukan penyuluhan; (5) mampu menciptakan atmosfir/iklim untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam penyuluhan; (6) mampu melibatkan jama’ah dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan penyuluhan; (7) mampu mendengarkan dan menghargai hak jama’ah untuk berbicara dalam setiap proses penyuluhan; (8) bisa meminimalkan friksi-friksi di jama’ah.
Kedua, kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen penyuluhan, meliputi: (1) memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani jama’ah yang tidak punya perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan dan mampu berimprofisasi yang konstruktif; (2) mampu bertanya atau memberikan pancingan persoalan yang bisa diterima atau dipahami oleh jama’ah.
Ketiga, memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feed back) dan penguatan (reinforcement), yang meliputi: (1) mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon jama’ah; (2) mampu memberikan respons yang bersifat membantu terhadap jama’ah yang memang tingkat pengetahuan (daya pikirnya) masih terbatas; (3) mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban jama’ah yang kurang tepat; (4) mampu memberikan bantuan profesional kepada jama’ah jika diperlukan.
Keempat, memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan kualitas diri, meliputi: (1) mampu menerapkan materi dan metode penyuluhan yang kreatif-inovatif; (2) mampu memperluas dan manambah pengetahuan pengetahuan mengenai metode-metode penyuluhan; (3) mampu memanfaatkan perencanaan PAI secara kelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode penyuluhan yang relevan.
Kompetensi Penyuluh
Memperhatikan kriteria atau kualifikasi profesionalisme dan kinerja seperti di atas, maka menuntut adanya penyuluh yang memiliki kompetensi tertentu sehingga dapat mengampu muatan tugas-tugas pokoknya, termasuk dalam mengimplementasikan trilogy fungsinya, yaitu fungsi informative-edukatif, fungsi konsultatif dan fungsi advokatif. Secara umum, minimal ada empat kompetensi yang perlu dimiliki PAI agar dapat berproses menjadi sebuah profesi yang profesional. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik, profesional, kompetensi personal, dan kompetensi sosial. Secara detail masing-masing kompetensi tersebut dikembangkan sebagai berikut :
1.Kompetensi Pedagogik
a.Melaksanakan bimbintgan dan penyuluhan yang mendidik
b.Menguasai karakteristik jamaah dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, intelektual dan emosional.
c.Menguasai teori penyuluhan dan prinsip-prinsip bimbingan dan penyuluhan
d.Mengembangkan kurikulum terkait dengan kegiatan penyuluhan melalui tatap muka
e.Dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran dalam penyuluhan.
f.Memfasilitasi pengembangan potensi jamaah untuk dapat mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki
g.Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan jamaah.
h.Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil penyuluhan
i.Memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran dan evaluasi dalam penyuluhan untuk kepentingan pengembangan penyuluhan
2.Kompetensi Profesional
a.Menguasai tujuan dan target setiap bimbingan dan penyuluhan.
b.Mengembangkan materi pembelajaran penyuluhan yang diampu secara kreatif.
c.Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan kreatif.
d.Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri.
e.Menguasai pembuatan tata administrasi kepenyuluhan yang mendukung pengembangan profesi.
3.Kompetensi Personal
a.Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi jamaah
b.Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa dan rasional
c.Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi penyuluh dan percaya diri yang tinggi.
d.Menjunjung tinggi kode etik profesi penyuluh
4.Kompetensi Sosial
a.Bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif atau bersikap primordial.
b.Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama penyuluh dan masyarakat.
c.Beradaptasi di tempat tugas.
d.Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain baik secara lisan, tulisan maupun dengan teknologi informasi.
Staregi Peningkatan Profesionalisme dan Kinerja
Pekerjaan utama ke depan, adalah bagaimana merumuskan strategi peningkatan profesionalisme dan kinerja penyuluh. Dalam merumuskan persoalan ini, kita dapat menggunakan analisis SWOT (Strengt, Weakness, Opportunity, dan Threat).
Secara sederhana, analisis SWOT bagi peningkatan profesionalisme dan kinerja penyuluh dapat digambarkan sebagai berikut:
KEKUATAN (Strengt)
1.Memiliki legalitas kerja yang dilindungi Undang-Undang
2.Jumlah penyuluh yang menyebar di tiap wilayah
3.Memiliki organisasi profesi KELEMAHAN (Weakness)
1.Pemahaman terhadap berbagai peraturan/pedoman lemah
2.Tunjangan fungsional sangat rendah
3.Usia pensiun belum sama seperti tenaga fungsional lain tahun
4.Profesionalisme kurang
5.Penguasaan teknologi informasi lemah
6.Fasilitas pembelajaran penyuluhan belum ada
PELUANG
(Opportunity)
1.Jabatan mandiri
2.Penghasilan tetap setiap bulan dan meningkat secara berkala
3.Kenaikan pangkat/karir berdasar kinerja
4.Status sosial STRATEGI – SO
1.Memberikan kesempatan kepada semua penyuluh untuk mengembangkan profesionalismenya setinggi mungkin untuk mengembangkan karir dengan pola reward dan punishment
2.Mengefektifkan organisasi profesi
STRATEGI – WO
1.Memberikan pembinaan secara regular kepada penyuluh untuk mengembangkan profesionalismenya
2.Pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang kebutuhannya
ANCAMAN
(Threath)
1.Perilaku KKN
2.Apatisme dan ketidakpercayaan masyarakat
STRATEGI – ST
1.Pelaksanaan peraturan berdasar kesadaran
2.Penempatan personal sesuai dengan kebutuhan dan kapasitasnya
STRATEGI - WT
1.Meningkatkan kompetensi penyuluh
2.Membangun networking dengan lembaga-lambaga yang berkompeten
3.Berkomunikasi kepada masyarakat melalui lembaga-lembaga pemerintahan maupun sosial-keagamaan
4.Mengefektifkan penggunaan TI (internet)
Penutup
Mencermati perkembangan masyarakat yang semakin progresif dan kompetitif, maka profesionalisme dan kinerja bagi PAI merupakan tuntutan riil yang mendesak dan perlu untuk segara dilakukan langkah-langkah realisasinya. Namun demikian, kita perlu menyadari bahwa PAI adalah bukan organisasi yang berdiri sendiri, tetapi sebaai bagian dari salah satu rangkaian kereta besar intitusi Kementerian Agama. Secara formal, semestinya pengembangan profesionalisme dan kinerja penyuluh dapat difasilitasi secara maksimal oleh Negara. Tetapi, tanpa menafikan berbagai kesempatan dan fasilitas untuk pengembangan masalah tersebut, tetapi terlalu lamban perkembangannya jika penyuluh sendiri tidak berani melakukan terobosan-terobosan kreatif dan inovatif yang dapat menjadi katalisator dalam mengangkat profesionalisme dan kinerjanya.
Karena itu, organisasi profesi merupakan salah satu kekuatan yang efektif untuk mengangkat profesionalisme dan kinerja penyuluh. Termasuk, saling kerja sama antar Kelompok Kerja lintas kabupaten atau bahkan provinsi tentu menjadi terobosan yang sangat baik agar sesama penyuluh dapat melakukan sharing, tukar gagasan, pengalalaman dan sebagai yang relevan dengan upaya ini. Dalam hal ini, pemanfaatan internet mestinya dapat menjadi media yang cukup efektif untuk melakukan terobosan itu. Tetapi, berapa persen tenaga fungsional penyuluh kita yang sudah akrab dengan dunia internet itu? Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 9 Oktober 2010
M. Mahlani
Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta Wilayah kerja Kecamatan Jetis
Ketua Umum Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Yoyakarta
Pemimpin Umum/Redaksi Majalah WARTA PENYULUH Jogja.
REFERENSI
Qodri A. Azizy, Change management dalam reformasi birokrasi, Jakarta: Gramedia
Mahlani, “Menjadikan Penyuluh Agama Islam Sebagai Profesi Berdaya Saing Tinggi”, WARTA PENYULUH Jogja No. 1/TH I/Agustus 2008
Mahlani, “Keseimbangan Trilogi Fungsi Penyuluh Agama Islam”, WARTA PENYULUH Jogja No. 6/TH II/September 2010
http://criz-scania.blogspot.com
http://jurnal-sdm.blogspot.com
http://www.scribd.com
http://pustaka.ut.ac.id
http://tesisdisertasi.blogspot.com
Selengkapnya...